ads

Persoalan jual beli proyek dengan dalih agar mendapatkan jatah tender juga tak luput dari kajian dalam Bahtsul Masail Nasional yang diselenggarakan dalam rangka peringatan Haul Majemuk Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, 25 Februari lalu. Berikut hasil rumusannya :
Deskripsi Masalah
Fee atau uang komisi adalah sejumlah uang yang diterima pihak tertentu (seringkali oknum DPR) setiap kali ada proyek pemerintah, baik melalui anggaran APBN maupun APBD. Fee yang diterima pun bervariasi, tergantung besar kecilnya proyek, mulai dari 5% hingga 20% bahkan ada yang lebih dari 40%. Para pemburu uang komisi ini hari demi hari semakin pandai mencari pembenaran. Salah satunya memasukkan fee ke dalam akad jual beli proyek.
Misalnya si Rafiuddin (nama samaran) adalah seorang anggota dewan yang sedang mendapatkan jatah 2 proyek pembangunan jembatan didaerahnya dengan nilai anggaran 100.000.000,- (seratus juta). Selanjutnya dia “menjual” 2 proyek tersebut kepada 2 tokoh masyarakat didaerahnya;
Kepada Bpk. Kamil dengan harga 30 juta kemudian Bpk. Kamil mengerjakan proyek tersebut dengan menghabiskan biaya 40 juta sehingga Bpk. Kamil mendapatkan sisa anggaran proyek tersebut 60 juta, dipotong setoran fee ( pembelian proyek) kepada Bpk. Rafiuddin 30 juta.

Kepada Bpk. Rahmat dengan harga 30 juta kemudian Bpl. Tahmat mengerjakan proyek tersebut dengan menghabiskan biaya 70 juta, karena 30 jutanya diberikan untuk membayar fee.
Disisi lain jika tidak membayar fee maka tidak mendapatkan proyek tersebut, padahal sangat dibutuhkan. Bisa dialihkan ke instansi lain yang lebih loyal bahkan diambil alih oleh pihak-pihak yang tujuan bukan maslahah ummat islam.

Dari masalah diatas tentu masalah komisi proyek dan fee yang berlebihan akan membebani perusahaan yang mengerjakan setiap pekerjaan yang pada akhirnya hasil pekerjaan atau output dari pekerjaan tidak sesuai dengan spek yang sudah di sepakati. Yang di rugikan tentu saja pemerintah dan masyarakat umum secara langsung.
Pertanyaan:
Bagaimana fiqih menyikapi praktek sebagaimana dalam deskripsi di atas?
Jawaban:
Dalam Undang-Undang, Anggota DPR tidak berhak untuk mendapatkan proyek kecuali yang berupa Jasmas (Jaring Aspirasi Masyarakat). Dalam Undang-Undang pula, orang yang berhak mendapatkan proyek dan sudah mendapatkan proyek tidak boleh menjual kepada pihak lain. Oleh karena itu, secara syari penjualan proyek itu tidak boleh bukan hanya karena melanggar Undang Undang, tetapi juga karena penjualan proyek dapat berdampak kepada rendahnya kualitas pembangunan.
Maraji/referensi:
Faidul Qadir, juz. IV, h. 57.
Al-Hāwiy al-Kabīr, juz. 15, h. 563
Nihāyah al-Muhtāj, juz. 28, h. 138

فيض القدير (4/ 57)
(الراشي والمرتشي) أي آخذ الرشوة ومعطيها (في النار) قال الخطابي : إنما تلحقهم العقوبة إذا استويا في القصد فرشي المعطي لينال باطلا فلو أعطى ليتوصل به لحق أو دفع باطل فلا حرج وقال ابن القيم : الفرق بين الرشوة والهدية أن الراشي يقصد بها التوصل إلى إبطال حق أو تحقيق باطل وهو الملعون في الخبر فإن رشى لدفع ظلم اختص المرتشي وحده باللعنة والمهدي يقصد استجلاب المودة ومن كلامهم البراطيل تنصر الأباطيل.
الحاوى الكبير ـ الماوردى (16/ 563)
وَأَمَّا هَدَايَا دَارُ الْإِسْلَامِ فَتُقَسَّمُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا : أَنْ يُهْدِيَ إِلَيْهِ مَنْ يَسْتَعِينُ بِهِ إِمَّا عَلَى حَقٍّ يَسْتَوْفِيهِ ، وَإِمَّا عَلَى ظُلْمٍ يَدْفَعُهُ عَنْهُ ، وَإِمَّا عَلَى بَاطِلٍ يُعِينُهُ عَلَيْهِ ، فَهَذِهِ هِيَ الرِّشْوَةُ الْمُحَرَّمَةُ. رَوَى أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ أَنَّ النَّبِيَّ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} قَالَ : ” لُعِنَ الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي وَالرَّائِشُ ” فَالرَّاشِي : بَاذِلُ الرِّشْوَةِ ، وَالْمُرْتَشِي : قَابِلُ الرِّشْوَةِ ، وَالرَّائِشُ : الْمُتَوَسِّطُ بَيْنَهُمَا. وَلِأَنَّ الْهَدِيَّةَ إِنْ كَانَتْ عَلَى حَقٍّ يَقُومُ بِهِ فَهُوَ مِنْ لَوَازِمِ نَظَرِهِ وَلَا يَجُوزُ لِمَنْ لَزِمَهُ الْقِيَامُ بِحَقٍّ أَنْ يَسْتَعْجِلَ عَلَيْهِ كَمَا لَا يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعْجِلَ عَلَى صَلَاتِهِ وَصِيَامِهِ. وَإِنْ كَانَ عَلَى بَاطِلٍ يُعِينُ عَلَيْهِ ، كَانَ الِاسْتِعْجَالُ أَعْظَمُ تَحْرِيمًا ، وَأَغْلَظُ مَأْثَمًا .
نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج (28/ 137)
( فَإِنْ أَهْدَى إلَيْهِ ) أَوْ وَهَبَهُ أَوْ ضَيَّفَهُ أَوْ تَصَدَّقَ عَلَيْهِ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا ( مَنْ لَهُ خُصُومَةٌ ) أَوْ مَنْ غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ بِأَنَّهُ سَيُخَاصِمُ وَلَوْ بَعْضًا لَهُ فِيمَا يَظْهَرُ لِئَلَّا يَمْتَنِعَ مِنْ الْحُكْمِ عَلَيْهِ أَوْ كَانَ يُهْدِي إلَيْهِ قَبْلَ الْوِلَايَةِ ( أَوْ ) مَنْ لَا خُصُومَةَ لَهُ وَ ( لَمْ يُهْدِ ) إلَيْهِ شَيْئًا ( قَبْلَ وِلَايَتِهِ ) أَوْ لَهُ عَادَةٌ بِالْإِهْدَاءِ لَهُ وَزَادَ عَلَيْهَا قَدْرًا يُحَالُ عَلَى الْوِلَايَةِ غَيْرَ مُتَمَيِّزٍ أَوْ صِفَةً فِي مَحَلِّ وِلَايَتِهِ ( حَرُمَ ) عَلَيْهِ ( قَبُولُهَا ) وَلَا يَمْلِكُهَا لِأَنَّهَا تُوجِبُ الْمَيْلَ إلَيْهِ فِي الْأُولَى وَيُحَالُ سَبَبُهَا عَلَى الْوِلَايَةِ فِي الثَّانِيَةِ ، وَقَدْ وَرَدَ فِي الْأَخْبَارِ الصَّحِيحَةِ { هَدَايَا الْعُمَّالِ سُحْتٌ } وَإِنَّمَا حَلَّتْ لَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْهَدَايَا لِعِصْمَتِهِ ، وَفِي الْخَبَرِ أَنَّهُ أَحَلَّهَا لِمُعَاذٍ ، فَإِنْ صَحَّ فَهُوَ مِنْ خُصُوصِيَّاتِهِ أَيْضًا ، وَسَوَاءٌ كَانَ الْمُهْدِي مِنْ أَهْلِ عَمَلِهِ أَوْ مِنْ غَيْرِهِ وَقَدْ حَمَلَهَا إلَيْهِ لِأَنَّهُ صَارَ فِي عَمَلِهِ ، فَلَوْ جَهَّزَهَا لَهُ مَعَ رَسُولٍ وَلَا خُصُومَةَ لَهُ فَفِيهِ وَجْهَانِ أَوْجَهُهُمَا الْحُرْمَةُ ، وَلَا يَحْرُمُ عَلَيْهِ قَبُولُهَا فِي غَيْرِ عَمَلِهِ وَإِنْ كَانَ الْمُهْدِي مِنْ أَهْلِ عَمَلِهِ مَا لَمْ يَسْتَشْعِرْ بِأَنَّهَا مُقَدَّمَةٌ لِخُصُومَةٍ ، وَمَتَى بُذِلَ لَهُ مَالٌ لِيَحْكُمَ بِغَيْرِ الْحَقِّ أَوْ امْتَنَعَ مِنْ حُكْمٍ بِحَقٍّ فَهُوَ الرِّشْوَةُ الْمُحَرَّمَةُ بِالْإِجْمَاعِ ، وَمِثْلُهُ مَا لَوْ امْتَنَعَ مِنْ الْحُكْمِ بِالْحَقِّ إلَّا بِمَالٍ لَكِنَّهُ أَقَلُّ إثْمًا ، { وَقَدْ لَعَنْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ فِي الْحُكْمِ } وَفِي رِوَايَةٍ : { وَالرَّائِشَ ، وَهُوَ الْمَاشِي بَيْنَهُمَا }. وَمَحَلُّهُ فِي رَاشٍ لِبَاطِلٍ .
Source : Serambi Mata
Show comments